Di tengah pesatnya arus modernisasi dan globalisasi, pendidikan pesantren di Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang[1]. Salah satu tokoh yang memperjuangkan transformasi pendidikan pesantren agar lebih adaptif dan inklusif adalah KH Abdurrahman Wahid, dikenal luas sebagai Gus Dur. Dr. (H.C.) K.H. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur, adalah salah satu tokoh Muslim Indonesia yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4 dari tahun 1999 hingga 2001. Ia juga merupakan mantan ketua tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Gus Dur putra dari pasangan K.H Abdul Wahid Hasjim dan Solichah, di Jombang, Jawa Timur pada 7 September 1940, dan meninggal pada 30 Desember 2009 di Jakarta[2]. Beliau tidak hanya seorang pemimpin spiritual tetapi juga seorang visioner yang melihat pesantren sebagai kawah candradimuka pembentukan generasi emas Indonesia. Artikel ini mengajak kita merenungkan kembali visi Gus Dur tentang peran pesantren dalam membangun generasi muda yang berwawasan luas, berintegritas tinggi, dan berdaya saing global.
Gus Dur menganggap pesantren sebagai subkultur yang sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Menurutnya, pesantren memiliki peran penting dalam kultur masyarakat dan dapat mengarahkan dan membentuk perubahan ke masa depan yang lebih baik. Gus Dur juga menekankan bahwa pesantren sebagai literate society, yaitu masyarakat yang melek huruf, yang pada awalnya berfungsi sebagai pusat pemberantasan buta huruf bagi masyarakat di sekitarnya[3]. Berikut beberapa hal yang menjadi poin penting dari visi misi Gusdur dalam mencetak generasi emas Indonesia.
Pembaruan Melalui Tradisi
Gus Dur percaya bahwa pembaruan pendidikan tidak harus meninggalkan tradisi. Justru, di dalam tradisi pesantren, terdapat nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang kaya, yang dapat dijadikan fondasi kuat dalam membina karakter siswa. Dengan menggabungkan tradisi dan modernitas, Gus Dur berharap pesantren dapat melahirkan individu yang tidak hanya kuat secara spiritual dan moral tetapi juga mampu menghadapi tantangan zaman dengan pengetahuan dan keterampilan yang relevan. Terdapat dalam pemikirannya tentang Pribumisasi Islam, yang berpijak pada kaidah fiqih seperti Al-adah Muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum) dan Al-Muhafazatu bi Qadimis Shaalih wal-Ahdzu bil Jadidil Ashlah (memilihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Membangun Jembatan Keilmuan
Pandangan Gus Dur tentang pesantren sebagai subkultur yang terbuka terhadap perubahan dan menerima hal-hal yang baik dari tradisi lama maupun perubahan baru dapat diinterpretasikan sebagai nilai toleransi dalam menerima perbedaan dan kemajuan. Gus Dur menyampaikan kritik terhadap kurikulum pembelajaran di pesantren Indonesia pada masanya saat itu. Ia berpendapat bahwa pesantren belum memiliki fondasi pendidikan yang konsisten, kecuali dalam penggunaan buku-buku standar (Kutub Al-Muqararah) yang relatif serupa, atau materi ajar yang mirip[4]. Variasi ini muncul karena perbedaan dalam sistem pendidikan pesantren itu sendiri, dimana beberapa pesantren beroperasi dengan model pengajian tanpa sekolah/madrasah tradisional, beberapa menerapkan sistem pendidikan klasik, dan lainnya mengintegrasikan pengajian dengan sistem madrasah non-klasik. Namun, penting untuk diingat bahwa penyatuan kurikulum tidak akan tercapai selama masih terdapat perbedaan sistem yang dijalankan.
Gus Dur mengusulkan sebuah kurikulum khusus untuk pesantren di Indonesia, yang dirancang dengan pertimbangan untuk mengoptimalkan proses belajar mengajar. Kurikulum ini didesain untuk meminimalisir pengulangan materi, kecuali untuk memperdalam pemahaman, serta mengakomodasi latihan intensif dan mengatasi tantangan yang muncul dari urutan materi yang tidak linier. Gus Dur menekankan pentingnya fokus pada nahwu-sharaf dan fiqih, mengingat kedua bidang ini memerlukan pengulangan untuk penguasaan yang lebih baik. Dengan demikian, kurikulum dirancang dengan alokasi waktu terbesar untuk kedua subjek tersebut. Selain itu, kurikulum ini membatasi pengajaran mata pelajaran lain hanya untuk satu tahun, tanpa adanya pengulangan. Pada tahun akhir, materi diajarkan mengenai hadits Shahih Bukhari dan Muslim serta Ihya’ Ulumuddin, untuk memastikan santri memiliki pemahaman yang kuat mengenai dasar-dasar Islam sebelum menyelesaikan pendidikan mereka.
Secara spesifik, kurikulum ini dibagi menjadi enam tahun pembelajaran dengan distribusi materi sebagai berikut: Tahun pertama dan ketiga akan fokus pada Nahwu, Fiqih, Sharaf, dan Tauhid, memberikan dasar yang kuat dalam pemahaman bahasa dan hukum Islam. Pada tahun keempat, pembelajaran akan berlanjut ke Fiqih, Balaghah, dan Tafsir, untuk memperdalam pemahaman santri tentang interpretasi dan aplikasi hukum. Di tahun kelima, kurikulum menyertakan Mantik, Ushul Fiqih, dan hadits, mempersiapkan santri untuk pendalaman lebih lanjut dalam studi Islam. Akhirnya, di tahun keenam, fokus akan diberikan kepada hadits dan tasawuf, menandai puncak dari pendidikan spiritual dan intelektual santri. Kurikulum ini dirancang untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya kuat dalam teori dan praktik Islam, tetapi juga mampu menavigasi dan menginterpretasi kompleksitas kehidupan modern dengan bimbingan dari pemahaman agama yang mendalam.
Toleransi dan Keberagaman
Gus Dur dikenal sebagai sosok yang sangat menghargai keberagaman dan toleransi[5]. Melalui pesantren, beliau ingin menanamkan nilai-nilai tersebut kepada generasi muda. Dengan memperkenalkan mereka pada berbagai perspektif dan kebudayaan, Gus Dur berharap untuk membentuk generasi yang dapat hidup berdampingan secara damai dalam keberagaman, menghargai perbedaan sebagai kekayaan yang memperkaya, bukan sebagai sumber konflik[6].
Generasi Emas Berkelanjutan
Visi Gus Dur tentang pesantren tidak hanya terbatas pada pencapaian akademik atau keberhasilan individual santri. Lebih dari itu, beliau membayangkan pesantren sebagai tempat pembentukan karakter dan kepemimpinan, di mana santri diajarkan untuk menjadi individu yang peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan serta masyarakat. Ini adalah fondasi dari konsep generasi emas berkelanjutan yang beliau impikan, di mana keunggulan intelektual, moral, dan sosial berjalan seiring.
Kesimpulan
Gus Dur telah menanamkan benih perubahan dalam sistem pendidikan pesantren di Indonesia. Visinya tentang pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan generasi emas—yang tidak hanya unggul secara akademis tetapi juga kuat secara moral dan sosial—adalah warisan yang terus menginspirasi. Melalui adaptasi dan inovasi dalam tradisi pesantren, mimpi Gus Dur tentang generasi emas Indonesia yang berkelanjutan semakin mendekati kenyataan. Pendidikan pesantren, dengan dukungan dari semua pihak, memiliki potensi besar untuk terus mengembangkan diri dan berkontribusi pada pembangunan bangsa. Spirit pembaruan yang ditanamkan oleh Gus Dur harus terus dipelihara dan dikembangkan, memastikan bahwa pesantren tetap relevan dan menjadi pusat keunggulan dalam mencetak generasi emas Indonesia di masa depan.
Daftar Pustaka
Aini, A. Q. (2018). Islam Moderat di Pesantren: Sistem Pendidikan, Tantangan, dan Prospeknya. Edukasia Islamika: Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 218-233.
Fitriah, A. (2013). Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pribumisasi Islam. Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, 3(1), 39-59.
Hariyadi, M., & Husni, M. (2019). PENDIDIKAN PESANTREN PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID (GUSDUR). Jurnal Statement: Media Informasi Sosial dan Pendidikan, 9(1), 37-50.
Hasanah, U. (2015). Pesantren Dan Transmisi Keilmuan Islam Melayu-Nusantara; Literasi, Teks, Kitab Dan Sanad Keilmuan. ‘Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman, 8(2), 203-224.
Hantoro, R. R., Rosnawati, R., Saripuddin, S., Milasari, M., Hasibuan, L., & Us, K. A. (2022). Modernisasi dan Enkulturasi Budaya dalam Pendidikan Islam. Jurnal Ilmu Multidisplin, 1(2), 473-489.
Maâ, S. (2014). Ideologi Pesantren Salaf: Deradikalisasi Agama dan Budaya Damai. IBDA: Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 12(2), 198-209.
Muqoyyidin, A. W. (2014). Kitab kuning dan tradisi riset pesantren di nusantara. IBDA: Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 12(2), 119-136.
Muharir, M. (2017). Arkeologi Pemikiran Pendidikan Islam. Jurnal Al-Mutaaliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 2(1), 25-52.
Footnote
[1] Tantangan Pendidikan Pesantren di Era Globalisasi – islamsantun.org Dikutip pada Selasa, 2 April 2024, Pukul 22.54 WIB.
[2] Gagasan Gus Dur tentang Pesantren | NU Online Jateng Dikutip pada Selasa, 2 April 2024, Pukul 22.58 WIB.
[3] Hasanah, U. (2015). Pesantren Dan Transmisi Keilmuan Islam Melayu-Nusantara; Literasi, Teks, Kitab Dan Sanad Keilmuan. ‘Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman, 8(2), 203-224. Hal.203
[4] Gagasan Gus Dur tentang Pesantren | NU Online Jateng Dikutip pada Rabu, 3 April 2024, Pukul 11.19 WIB.
[5] Aini, A. Q. (2018). Islam Moderat di Pesantren: Sistem Pendidikan, Tantangan, dan Prospeknya. Edukasia Islamika: Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 218-233.
[6] Keunikan subkultur di pesantren seperti itu bukan berarti pesantren anti perubahan, tetapi tetap terbuka menerima perubahan meski selektif dengan prinsip; al muha>faz}ah ‘ala al-qadi>m al-s}a>lih} wa al-akhdzu bi al-jadi>d al-as}lah}. Meskipun kiai mendorong pesantren dan masyarakat di sekitar pesantren terbuka terhadap dunia luar, pesantren tetap berpijak pada kearifan klasiknya yakni, memelihara yang baik dari tradisi lama, dan mengambil yang lebih baik dari perubahan baru.