Perempuan merupakan individu yang diciptakan Tuhan sebagai pelengkap bagi laki-laki. Pelengkap yang tidak harus selalu memenuhi apa yang menjadi tuntutan para laki-laki, kebahagiaan akan datang jika sama-sama saling manaati, bukan menuntut untuk selalu ditaati. Hal ini sering terjadi di kalangan masyarakat, sehingga menjadi sebuah stereotip. Stereotip mengenai perempuan salah satunya diakibatkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai pemahaman gender dan seks.
Dalam Webster’s New World Dictionary, “gender dijelaskan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang dipandang dari segi nilai dan perilaku.” Istilah gender inilah yang dibentuk oleh masyarakat, seperti perempuan itu tempatnya di kasur, sumur dan dapur, bahkan dalam istilah Jawa perempuan disebut sebagai konco wingking, yaitu teman belakang atau disebut juga perempuan simpanan, karena pada zaman dahulu raja-raja mempunyai selir yang mana dijadikan simpanan oleh raja. Gender merupakan hal yang non kodrati sewaktu-waktu dapat berubah tergantung kondisi yang dialami. Seks adalah suatu hal yang mutlak dan bersifat kodrati. Ketentuan yang berasal dari Tuhan, seperti jenis kelamin yang tidak dapat diubah, walaupun ada cara untuk mengubahnya tetap tidak akan hilang kemutlakannya.
Dalam menepis stereotip ini perlu dipahami beberapa poin mengenai pandangan masyarakat terhadap perempuan:
Perempuan dianggap tidak bisa lebih kuat, lebih pintar ataupun lebih kaya dari laki-laki. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari budaya patriarki yang berkembang di Indonesia. Budaya patriarki yang masih kuat di kalangan masyarakat pada beberapa wilayah Indonesia sehingga perempuan tidak memiliki kesempatan dalam menempuh pendidikan seperti kaum laki-laki yang dapat menempuh pendidikan setinggi mungkin. Oleh karena itu, perempuan yang berkarir masih dipandang sebelah mata (Viva, 2013).
Pada dasarnya perempuan mampu berkontribusi dalam berbagai bidang, seperti menjadi tulang punggung keluarga, jika memang harus terjadi karena kesepakatan diantara suami istri itu merupakan hal yang sah-sah saja. Pada kasus perceraian misalnya kemudian seorang ibu yang menjadi tulang punggung keluarga itu merupakan haknya untuk mempertahankan hidup, adapun dalam sebuah rumah tangga suami dan istri sama-sama bekerja jika keduanya telah sepakat maka tidak menjadi masalah, namun pandangan masyarakat yang memang tidak memahami problematika yang ada menyebabkan hal itu menjadi tidak wajar.
Stigma bahwa perempuan berpendidikan tinggi akan sulit mendapat pasangan hidup juga masih berkembang. Ketika perempuan telah menempuh pendidikan tinggi dan memiliki karir yang bagus, masyarakat akan berstigma bahwa mereka akan susah mendapatkan pasangan atau mereka akan lebih memilih melajang karena akan banyak laki-laki yang akan minder terhadap pencapaiannya. Selain itu, laki-laki biasanya akan lebih memilih perempuan yang memiliki banyak waktu untuk dirinya. Perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan dan karir akan lebih memilih melajang (Ema Septiana, 2013).
Perempuan yang berpendidikan tentunya punya reputasi yang berbeda, menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan untuk pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan. Tentunya ini sangat dibutuhkan oleh perempuan, karena ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dengan Pendidikan pola asuh yang diterapkan kepada anak-anaknya akan berbeda, menjadi lebih kreatif dalam mendidik anak agar menjadi generasi yang mempunyai akhlak yang baik dan bermanfaat.
Budaya patriarki masih berkembang di masyarakat, laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan. Tentunya keadilan gender harus dijunjung tinggi, dengan adanya stereotip ini sangat merugikan perempuan. Kekerasan seringkali diakibatkan oleh perempuan contohnya dalam pelecehan seksual, perempuan dianggap yang paling bersalah karena cara berpakainnya membuat hal ini terjadi, padahal ini hubungannya dengan keadaan laki-laki tersebut apakah alam bawah sadarnya sedang baik-baik saja atau dalam keadaan tidak sadar. Disinilah letak dimana perempuan sangat dirugikan.
Perempuan sudah tidak bisa lagi dianggap sebagai strata kedua dalam masyarakat. Karena selain kedudukan antara perempuan dan laki-laki seharusnya setara, perempuan juga sudah tidak bisa dianggap lemah karena secara nyata perempuan telah menampilkan wajah dan tingkah laku yang elegan bagi kepentingan kemanusiaan. Perempuan harus didorong sebagai salah satu elemen yang akan melawan ketidakadilan dan resistensi struktur sosial (Nur Zaini, 2014).
Ketimpangan gender hadir berawal dari stereotip yang berkembang sudah melekat dalam kebudayaan, namun setidaknya kita sedikit-demi sedikit menepis hal tersebut karena ini menimbulkan ketidakadilan. Beberapa poin diatas merupakan hal-hal penting yang perlu diulas kembali guna menyadarkan kita selaku masyarakat dengan prinsip berbeda-beda tetapi tetap satu untuk menjunjung tinggi keadilan. Setiap orang punya hak dan kewajiban yang patut kita hargai. Keadilan harus diperjuangkan. Mengutip dari orasi Ella yang menyampaikan pada saat demo buruh di depan Kantor Gubernur Jawa Tengan bahwa “perjuangn tidak melihat gender”.