Search

Review buku Almond Karya Sohn Won Pyung

“There’s something called the amygdala. Your brain stores all unpleasant memories in the amygdala.” – Suga BTS

Apakah kamu tahu ternyata rasa takut atau senang memiliki pusat pengendalinya tersendiri di dalam otak. Bagian dari otak yang mengelola emosi tersebut dikenal sebagai Amygdala/Amigdala.

Amygdala adalah struktur dalam sistem saraf yang berbentuk seperti almond dan terletak di dasar lobus temporalis. Sebagai bagian dari sistem limbik, amygdala terlibat dalam pengalaman emosional dan berperan penting dalam pengendalian serta proses emosional. Strukturnya yang berpasangan di dalam lobus temporal juga memainkan peran dalam memori dan pembelajaran.

Bagian otak ini berfungsi untuk mendeteksi rasa takut dan cemas, yang kemudian merangsang munculnya respons dalam bentuk perilaku atau emosi. Amygdala berkontribusi terhadap sirkuit rasa takut melalui dua cara: secara langsung, dengan mendeteksi ancaman pada tingkat bawah sadar dan mengatur respons perilaku serta fisiologis, dan secara tidak langsung, melalui sistem kognitif, dengan munculnya perasaan takut secara sadar.

Namun, ada kondisi khusus pada manusia di mana ukuran amygdala lebih kecil dari biasanya. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa merasakan rasa takut atau senang, dan dalam kondisi yang lebih parah, mereka tidak bisa merasakan emosi apa pun. Kondisi langka ini dikenal sebagai alexithymia, yaitu ketidakmampuan mengungkapkan emosi. Alexithymia pertama kali dilaporkan dalam jurnal kesehatan pada tahun 1970-an. Alexithymia dapat terjadi karena kurang berkembangnya rasa emosional selama masa kanak-kanak, gangguan stres pascatrauma, atau karena penderita dilahirkan dengan amygdala yang berukuran kecil.

Orang dengan gejala alexithymia memiliki beberapa ciri diantaranya kesulitan dalam mengenali dan memahami emosi yang mereka rasakan sendiri maupun emosi orang lain. Mereka sering bertanya-tanya, “Apa yang sebenarnya aku rasakan? Mengapa kakiku terasa lemas setiap kali bertemu lawan jenis?”

Gejala lainnya adalah mereka cenderung kaku dalam merespons situasi, tidak mampu menyampaikan sesuatu dengan baik, dan kesulitan membedakan emosi serta respons fisik. Mereka berpikir sangat logis, sering mengabaikan perasaan, tidak memiliki selera humor, dan terlihat cuek terhadap hal-hal di sekitar mereka. Meski tidak berbahaya, alexithymia tetap perlu diatasi karena kondisi ini menghambat kemampuan seseorang untuk mengenali emosinya sendiri dan emosi orang lain, sehingga menyulitkan mereka dalam berinteraksi sosial. Namun, dengan pelatihan yang tepat, kondisi ini bisa diatasi dan berkembang menjadi lebih baik.

Masih kebingungan untuk memahami gejala ini? Nih ada rekomendasi untuk kalian.

Buku berjudul “Almond” mengangkat cerita mengenai Alexithymia, dengan tokoh utama Yoonjae yang terlahir dengan amigdala kecil sehingga memiliki kondisi dimana ia tidak mampu mengenali emosi yang dirasakannya.

Ketika masih di taman kanak-kanak, Yoonjae pernah melihat seorang anak SMP yang babak belur setelah dipukuli. Alih-alih merasa takut, Yoonjae hanya menatap datar dan berlalu meninggalkan anak tersebut, sambil berkata kepada pemilik toko, “Ada anak terbaring di tanah, mungkin dia sudah mati.”

Seiring berjalannya waktu, Yoonjae belajar memahami orang lain melalui ekspresi dan perkataan agar tetap dianggap normal oleh lingkungannya. Dia mempelajari bagaimana merespons situasi tertentu, misalnya, jika seseorang berkata begini, dia harus menjawab begitu. Hingga ketika beranjak SMA Yoonjae bertemu dengan Gon, anak yang terkenal temperamental. Tentunya sangat bertolak belakang dengan Yoonjae yang tidak bisa menunjukkan emosi apa pun.

Di sinilah kisah Yoonjae mulai belajar mengenali emosi dimulai. Gon sering bertanya hal-hal absurd mengenai kondisinya yang dijawab datar oleh Yoonjae. Pertemanan mereka unik. Beruntungnya, Yoonjae dikelilingi oleh orang-orang baik yang selalu melindungi dan mendukungnya dalam kondisi tersebut, membantu menjawab pertanyaannya mengenai emosi agar ia bisa belajar merespons. Yoonjae memang terlahir spesial dan berbeda. Namun, itu bukan berarti dia tidak layak berada dalam kehidupan sosial. Orang seperti Yoonjae berhak menerima perlakuan yang sama dengan kita sebagai sesama manusia.

Gaya penulisannya bagus dan nyaman banget dibaca, berasa beneran ngikutin kisah dan perjalanan hidup Yoonjae, mulai dari jatuh – bangunnya, tragedi, hingga cara dia dan orang sekitar merespon hal tersebut.

Ceritanya menarik dan jadi hal baru buat aku, bisa ngebayangin rasanya di posisi Yoonjae yang ga tahu menahu kenapa seseorang bisa sangat ekspresif. Lewat buku ini penulis memberikan gambaran yang cukup jelas dan detail mengenai apa yang dialami dan dirasakan oleh mereka dengan kondisi tersebut. Karena sebenarnya mereka juga punya rasa penasaran dan ingin tahu mengenai emosi.

Follow @bookarazi.read di instagram untuk mendapatkan update mengenai review buku ya.

BAGIKAN

REKOMENDASI

Kirim Kami Pesan